Sabtu, 15 Mei 2010

Mari Berkerudung

Ketika Bahagia Menjelma

Oleh: Frida Firdiani

Iri dengan kehidupanku merupakan sikap yang biasa yang selalu ditunjukan oleh teman-teman. Sungguhlah luar biasa, aku yang dilahirkan dari keluarga biasa-biasa tapi mampu bersekolah di SMA yang kefavoritannya belum pernah sirna. Puluhan tahun sekolah ini menjadi sekolah terfavorit di tengah krisis yang semakin membelit. Bukan kestabilan ekonomi yang mengantarkanku ke gerbang sekolah ini, tapi sebuah prestasi yang sangat bergengsi. Ini adalah tahun terakhir aku menghuninya, Ujian Akhir Nasional tinggal dalam hitungan bulan, tapi tawaranku sebagai model semakin membudal.

“Jangan lupa Mel, nanti siang kamu harus pemotretan!”

“Semakin hari, jadwalku semakin membuat kewalahan.”

“Sori, aku nggak bisa nemenin kamu, siang ini akan diadakan kumpulan remaja mesjid di kompleks rumahku.”

Perkataan Fina membuat hatiku berdesis, ingin rasanya aku menutupi mahkotaku dengan sehelai kain yang mampu membuat hatiku terpimpin. Sesaat, aku mengangkatkan sebelah alisku, “Tapi keadaan ekonomiku akan terancam, karena tawaran sebagai model akan berkurang, bahkan menghilang.”

Semakin berjalannya waktu, kebimbangan ini semakin membelenggu dan keinginanku untuk berjilbab semakin menggebu ketika aku menjadi mahasiswa baru.

Ya, lagi-lagi Dewi Fortuna datang menghampiriku. Aku berhasil menduduki bangku kuliah dengan passing grade yang memuaskan. Ini hari pertama aku ospek, tapi hatiku serasa sobek ketika Fina harus berjarak denganku. Dia kuliah di luar kota sehingga membuatku ragu untuk terus melaju karena tidak ada sahabat yang membimbingku. Ingin aku berlari ketika tawaranku sebagai model semakin membanjiri, dan rasanya setan-setan sedang asyik mentertawakan keraguanku untuk berjilbab.

Kucoba untuk mengambil air wudhu, dengan gelagapan aku mencoba mengutarakan isi hatiku kepada Tuhan yang telah menciptakanku. Di antara sela-sela hijab, kudengar seorang mahasiswa senior berkata, “Subhanallah!!!” Ribuan tanya datang menggelayuti pikiranku. Apa maksud perkataannya? Mungkinkan perkataan itu ditujukan kepadaku? Tapi, atas dasar apa, karena aku sama sekali tak mengenalnya.

Waktu istirahat telah habis, para mahasiswa baru diwajibkan untuk ke aula. Lagi-lagi, jumlah piagamku semakin bertambah, aku mendapatkannya sebagai penghargaan dari rektor karena nilaiku yang jauh dari kata rendah. Tapi, aku malah celingukan mencari senior yang mengundang rasa penasaranku ketika di mesjid tadi. Sialnya, aku tidak menemukannya sama sekali, padahal sebelumnya dia selalu mengisi acara di kegiatan ospek ini. Tidak ada perubahan yang mencolok dari alur kehidupanku, aku masih disibukkan dengan tawaranku sebagai model yang semakin membanjiri.

“Semakin hari, bakat kamu sebagai model semakin menonjol! Ibu bangga denganmu, Nak.”

“Tapi, bapak lebih bangga lagi kalau kamu mau berhijrah.”

“Maksud Bapak?”

“Kegembiraan bapak akan tak terlukiskan jika kamu berjilbab, Mel.”

“Bakatnya itu bagai mesin pencetak uang, apalagi kita bukan orang kaya!” sahut ibu.
“Kaya hati jauh lebih baik, Bu.” Bapak menarik napas dalam-dalam.

Hatiku bergumam dengan percekcokkan orangtuaku barusan. Tanpa terasa, tiga bulan telah aku telusuri universitas ini dengan keadaan mahkota terpamerkan. Targetku untuk berkerudung di semester pertama tak berhasil aku capai. Angin berdesir di antara celah-celah jendela kamar, tiada hentinya aku meratapi serta menghitung puluhan piagam dan piala yang berhasil aku peroleh. Dan sebagian besar dihasilkan dari prestasiku sebagai model sehingga semakin menggoyahkan niatku untuk berjilbab.

“Satu pesan diterima.” Itulah kalimat yang tertera di layar HP-ku. “Ketika waktu berdoa menjemput, aku selalu berharap mahkotamu akan cepat terbalut.” SMS Fina seolah memutar kepalaku untuk selalu berpikir, dan orang-orang yang menelepon serta menyuruhku untuk bersiap-siap dalam menghadapi pemotretanku besok semakin membuat niatku berbelok.

Para mahasiswa di kampus ini mulai mengenaliku, karena hampir setiap hari wajahku selalu terpampang di media cetak. Ketika aku harus berpapasan dengan senior yang memunculkan sejuta tanya di hari ospek pertamaku, anehnya dia menatapku sinis dan berkata, ”Waktu terus bergulir!!!” Sialnya dengan cepat dia menghilang dari pandanganku sehingga aku tak dapat menanyakan maksud dari kata-kata yang telah dia lontarkan, dan ribuan tanya itu semakin terukir. Sepulangnya kuliah, pemotretan pun berjalan sangat lancar. Di luar dugaan, jam terbangku semakin padat, tak hanya model media cetak, tapi tawaran sebagai iklan pun semakin membanjiri. Aku tak mungkin melepas kata setuju begitu saja dari mulutku, aku harus mengikatnya dulu kencang-kencang, sebelum semuanya makin larut dalam kekeliruan. Tanpa terasa, UAS telah di depan mata, itu artinya udah enam bulam aku terkatung-katung dengan dilema. Tekadku untuk berkerudung lebih dari bulat, dan kuyakin keinginanku ini tak hanya sesaat. Honor sebagai model dan bintang iklan memang lebih dari lumayan. Tapi tak selamanya materi dapat membeli kebahagiaan yang hakiki. Kukirim SMS dengan mantap: “Fin, aku ingin berfoto bersama, dalam beda nuansa.” Sayangnya, Fina tak membalas SMS-ku. Entahlah, mungkin dia sibuk atau memang tidak ada pulsa.

Inilah hari pertamaku melaksanakan UAS, nuansa indah tak mampu kugambarkan. Ya, aku telah menjelma sebagai Muslimah yang seharusnya. Ketika aku mulai bersiap untuk melangsungkan ujian, senior itu menghampiriku di kelas.

“Betapa terkejutnya aku dengan penampilanmu! Mel, aku Fajar kakaknya Fina. Coba kamu telepon Fina untuk mengabarkan berita gembira ini, karena setahu kakak dia tak punya pulsa.”

Aku pun tak kalah terkejutnya dengan Fajar, mungkinkah Fina yang menyuruhnya untuk mengawasiku? Tapi, apakah mungkin Fina juga yang menyuruhnya untuk berkata subhanallah.

“Tapi ....”

”Pakai saja HP-ku kalau kamu nggak ada pulsa.”

“Bukan itu, tapi apa maksudnya ucapan subhanallah itu?”

“Kamu berniat mengingatnya Mel?”

Aku gugup bukan main. Aku dihadapkan dengan rasa penasaran yang semakin membesar.

“Tak sengaja aku melihatmu ketika selesai shalat, ternyata kecantikanmu lebih mencuat ketika kamu menutupi aurat.”

Ah, rasanya aku semakin larut dalam pujian Fajar, tanpa sadar sebentar lagi ujian akan dimulai. Kebahagiaan seolah antre menghampiriku, senangnya bukan main ketika aku ngobrol dengan Fina di telepon. Ini adalah spirit baru dalam menghadapi UAS-ku. HP-ku bergetar kubaca SMS itu dalam-dalam, “Putri ibu semakin cantik dengan jilbabnya! Maafkan ibu ya Nak.” Sempat terlintas dalam benakku untuk berkerudung di semester dua. Tapi datangnya hidayah sungguhlah tak terkira, dan kini hari demi hari kulalui dengan penuh makna. Kuliah sudah mulai libur, memang aneh rasanya, aku yang selalu disibukkan dengan kegiatan pemotretan tapi kini waktuku terasa luang, tapi semua ini membuatku semakin lapang. Hari ini, aku berniat untuk melihat hasil ujianku di fakultas, subhanallah IP-ku tertinggi. Tapi hal itu bukanlah satu-satunya alasan untuk membuatku tercengang karena yang lebih mengagetkan, aku mendapat beasiswa. Itu artinya, aku tidak perlu dipusingkan dengan memikirkan uang untuk registrasi semester depan. Terima kasih tuhan kuucapkan, kau telah memberiku berjuta kebahagiaan!!!

0 komentar:

Posting Komentar