Sabtu, 15 Mei 2010

Si Kecil pembawa Petaka!!!

Bangkitkanku dari Mimpi Burukku!!!

Oleh: Frida Firdiani

Malam ini terbaca sangat liar, hingar bingar tak mampu lagi menutupi rasa hausku akan “pil kecil” yang telah membuatku tergelincir. Lembutnya angin tak mampu lagi menenangkan hatiku akan kegilaan yang tak tergambarkan atas hadirnya narkoba yang telah menjadi bagian dari hariku, bahkan bagian dari hartaku. Bergelimang harta bagiku merupakan pondasi yang kuat untuk mempertahankan kecanduanku akan barang yang satu ini. Semua ini berawal dari coba-coba yang akhirnya membuatku membara untuk menapaki jalan terlarang ini. Bahkan ribuan lubang telah kuselami, padahal yang kutemukan hanya waktu sesaat yang dapat kunikmati. Malam ini memang malamnya penggila narkoba untuk nyari “barang” baru, club malam memang tempat pelarian kami. Entah berapa malam yang kulewati dengan berani dan aku pun semakin yakin ketika cahaya mulai menjauh, keinginan untuk menemukannya kembali akan terasa semakin mendekat.

“Uang kamu banyak Ka! Sepertinya kamu yang akan mengayuh roda hitam ini lebih lama.”

“Kurasa, uangnya itu sebentar lagi akan jadi musuh terberatnya baginya, Ji.”

Sesaat, mataku menerawang jauh, dan mencoba menafsirkan apa yang terlontar dari mulut Awal barusan dan rupanya Aji lebih paham dariku.

“Semakin kamu menyelaminya, maka semakin cepat waktumu untuk mengambang!”

“Seharusnya semakin aku sering menyelam, maka semakin pandai berenang!”

“Dika ... Dika! Sayang sekali, pikiranmu tak seluas istana keluargamu! Maksud Aji benar Ka, yang kita selami itu tak selamanya kolam biasa dan semakin hari kita dihadapkan dengan hamparan lautan.”

“Maksud kamu, jika kita menantang lautan maka kita akan cepat mati? Narkoba memang dapat mematikan, tapi siapa yang menyalakan semua ini, Wal? Kalian yang menuntunku dengan Peta Hitam ini!”

“Jadikanlah air sebagai cermin sebelum kita menyelaminya, maka kita akan temukan jawaban tentang siapa yang mampu mengerem kehidupanmu yang tanpa kendali ini.”

“Diri kita sendiri adalah kendali dari semua ini, Ka!” tegas Aji.

Kedatangan mereka berdua secepat kilat, tapi kesan yang mereka sampaikan lebih luas dari pada laut hitam yang telah kuarungi. Mereka sama hinanya seperti aku, mereka juga telah menjadi budak narkoba. Tapi, rasanya esok mereka akan menyambut hari dengan ceria dan dengan bangganya mereka akan berkata: “Selamat datang kehidupanku yang baru!” Tapi, aku akan sebaliknya, justru masalah yang akan datang menyapaku. Entahlah, yang jelas lampu-lampu club ini seolah mendorongku untuk menemukan sebuah lampu yang bersifat prinsipil, tak seperti lampu disco itu yang selalu berubah warna, tapi membuat orang-orang di sekitarnya semakin menjauh dari terangnya mentari. Kebersamaan kami dalam mengenal narkoba bukan dalam hitungan bulan, tapi menahun. Mereka selalu merasa kesusahan ketika mereka menjelma menjadi budak narkoba, karena kekayaan yang mereka miliki tak seberapa dengan materi yang dimiliki orang tuaku. Di sisi lain, aku merasa beruntung dengan semua ini, tapi aku pun selalu lari dari kenyataan yang selalu menertawakanku. Tak lama kemudian, HP-ku menjerit seolah mewakili jeritan hatiku. “Aku harap selamanya kita akan hidup sejalan, disaat kami menemukan jalan cahaya, maka kau pun akan menyambut datangnya surga.” SMS dari Awal seperti menghipnotisku, tapi aku belum mau berjauhan dengan benda haram itu, meski dijauhi sahabat adalah mimpi buruk yang nyaris menimpaku.

Untuk kedua kalinya HP-ku menjerit. Tapi, dilema yang menghampiriku membuatku tak berniat untuk membaca SMS yang datangnya pasti dari Aji itu. Ya … tentunya dia akan menguatkan argumen Awal. Selintas, bayangan ketika kami sakaw bersama terekam kembali dalam pikiranku dan membuat penasaranku akan isi SMS semakin menguat sehingga aku pun tak mampu membiarkan jemariku untuk diam. Sebuah SMS yang mencengangkan!!! Sakitnya melebihi penolakan orangtua Nesya ketika aku mencoba melamarnya. “Sayang …, mama mohon temani papamu di rumah sakit, dia terkena stroke dan dalam keadaan koma!” Entah rute mana yang telah aku lalui dari club, tapi aku beruntung bisa sampai ke rumah sakit walau dalam keadaan mabuk. Yang aku ingat dalam perjalanan hanyalah ketidakpedulianku terhadap lampu merah, sama halnya dengan aku yang tak menghiraukan kehidupanku yang genting ini, dan sebuah tamparan mendarat di pipiku dengan mulusnya.

“Kakak nyesel punya adik kayak kamu! Waktu kamu SMA, kakak selalu ngiri dengan prestasimu yang gemilang, tapi sekarang kebodohanmu malah tak terbilang.”

“Antrean masalah yang menghampiriku udah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa aku seperti ini, Kak!”

“Antrean masalahmu takkan pernah habis selama larangan tak kau gubris!”

Entahlah … semua kata yang terlontar dari keluargaku kurang menarik untuk dicerna. Yang hinggap dipikiranku hanyalah, “Awal, Aji??? Benarkah mereka mulai berubah??? Tapi rasanya baru kemarin mereka memperkenalkan barang haram itu padaku, mungkin esok mereka telah pamit dari kegelapan ini. 103!!! Itulah nomor ruangan tempat papaku dirawat. Badannya yang biasa terlihat gagah, kini sangat tak berdaya, padahal tanpa kusadari aku pun telah kehilangan berat badanku secara drastis. Detak jantungnya seolah memberikan komando kepadaku untuk bangkit dari semua ini. Dinding-dinding rumah sakit pun seperti memberiku kekuatan untuk mengubah peta kehidupanku. Tapi di luar sana, kepayahanku membuatku menjelma menjadi orang yang tanpa kendali. 365 hari ayahku belum sadar dari komanya, beda halnya dengan mama yang selalu sadar akan kekayaannya yang semakin berkurang! Biaya rumah sakit yang murah tidak pernah ada dalam catatan keluarga kami. Kami selalu ingin mendapatkan pelayanan yang terbaik di tengah keharmonisan keluarga yang semakin tak membaik.

Setiap lembar peristiwa seolah memaksaku untuk semakin berlari jauh dari kenyataan. Hari ini, aku menerima hasil UAS dengan IP kurang dari angka dua. Ini pengalaman pertamaku menghadapi kebimbangan akan semester depan. Bukan masalah nilai yang aku pikirkan, tapi apakah orangtuaku masih sanggup atau sudi membiayai kuliah yang hanya sekadar gengsi bagiku. Aku putuskan untuk cuti dari kuliah sampai semuanya stabil, tak hanya keadaan ekonomi keluargaku, tapi kehidupanku juga. Keliaranku semakin terkikis ketika aku harus melihat mamaku menangis. Keriput di wajah papa mulai terlihat, tapi aku belum melihat kondisinya semakin membaik. Dilema memang selalu akrab denganku, pikiranku mulai tak mengerucut dan terkadang membuatku jadi pengecut. Ingin rasanya aku pergi dari semua ini, aku ingin sekali mengejar matahari.

Aku ingin pindah rumah ke Panti Rehabilitasi, tapi masalah ekonomi keluargaku semakin tak teratasi. Bila papa sedang berjuang melawan rasa sakitnya, maka tidak ada alasan bagiku untuk diam. Ya, aku pun harus membuka pundi-pundi kehidupan yang semestinya. Aku memberanikan diri untuk mengunjungi panti rehabilitasi, hanya sekadar untuk melihat-lihat saja, karena aku tak yakin keluargaku akan mampu membiayai penyembuhanku, karena keadaan ekonomi keluarga kami yang semakin tertekan.Sebuah pemandangan yang mengagungkan, di tempat itu kutemukan kedua sahabatku Aji dan Awal yang sedang menjalani penyembuhan. Mereka adalah kakak-beradik yang sedang mengayuh roda kehidupannya yang mulai dinamis dan realistis. Keadaan ekonomi keluarga mereka telah melesat jauh di atasku, bahkan demi melihatku sembuh mereka rela membiayai semua pengobatanku dan kami seolah ditakdirkan untuk selalu hidup bersama untuk menjalani kehidupan yang lebih berirama. Di hari ke tujuh, kakak menemuiku di panti. Aku berharap kekecewaannya mulai terhapuskan. Tapi rupanya kekecewaan yang malah datang menjemputku. Setelah beberapa kali gagal untuk mengambil air wudhu, akhirnya aku mampu untuk berkata dengan ikhlas “Innalillahi wa inna ilaihi rojiu’n.” Papa pergi ketika seberkas cahaya menghiasiku.

Tembok-tembok panti ini seolah mengacungkan jempol karena melihat perubahan kami bertiga. Aku seolah menutupi rasa bersalahku yang belum sempat berziarah ke makam papa. Aku bertekad dalam hati, ingin mengunjunginya ketika sembuh nanti. Tapi tak sekadar sembuh, aku harus berlabuh untuk mengejar mimpi demi perbaikan ekonomi. Tanpa terasa, tiga bulan adalah hitungan yang menyatukan kami di panti ini. Aji dan Awal layaknya dua orang prajurit yang siap bertempur di medan perang. Mereka menyambut kesembuhannya dengan ceria dan keluarga yang menjemputnya, kini telah di depan mata.

“Barang kamu tambah banyak Ka.”

“Iya Ji, ini lukisan-lukisanku yang siap untuk diperkenalkan.”

“Sebelum kamu semakin terkenal, kuharap kau tak melupakan sahabatmu yang pernah brandal ini Ka.” Awal memelukku erat.

Selama di panti, berbagai lukisan telah menghiasi ruangan kami. Aku yang berbakat di bidang seni tak ingin melewatkan kesempatanku di panti dengan bersedih hati. Sepulangnya dari panti, keberanianku untuk mengunjungi makam ayah belumlah terkumpul. Aku merasa belum bisa menghasilkan apa-apa, yang ada baru sebatas perubahan.

Sesampainya di halaman rumah, aku kaget bukan main! Pagar rumah yang biasanya aku banting ketika aku sakaw, kini bertuliskan: “Rumah ini akan dijual!” “Sekusam pagar inikah kisah kehidupanku???” Teriakku dalam hati. Keluarga menyambutku dengan hangat, sehangat mentari di siang ini. dari sekian banyak sapaan, aku hanya mampu berkata: “Rumah ini tak usah dijual!”

Tibalalah waktunya untuk mengumpulkan kepercayaan diriku dalam menjual apa yang telah aku hasilkan. Dan hasilnya pun sesuai dengan apa yang aku harapkan, bahkan lebih dari cukup. Hari ini yang ada di hadapkanku bukanlah sebuah lukisan, tetapi makam papa. “Pa, sekarang aku tak seperti lukisan-lukisan ini. Aku mampu bangkit dari persoalan yang membelit.” Lukisanku memang selalu menggambarkan orang yang sedang dilanda kekecewaan. Dan aku harus mulai menabung untuk menyelesaikan pendidikan yang sempat menggantung dan membuatku tekatung-katung.

0 komentar:

Posting Komentar